-->

Pandawa Puter Puja



Syahdan Raja Astina Parbu Suyudana hadir di pasewakan dihadap oelh putra mahkota Raden Lesmana Mandrakumara, pendita praja Astina Dhahyang Drona, Patih Sakuni, Adpati Awangga Karna dan segenap para Korawa, Raden Arya Dursasana, Raden Kartamarma, Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi. Pokok perembugan raja berkisar pada sabda jawata yang diterimanya, bahwasanya sang Raja diperintahkan untuk mengadakan semadi di laladan luar istana Astina, jika akan mencapai terlabulnya cita-cita. Raja berkebulatan hati untuk melaksanakan puter puja, kepada Pandita Durna diperintahkan turut serta. Adapun Patih Arya Sakuni, dan para Korawa ditugaskan tinggal di istana menjaga tata-tirtib keamanan selama raja melaksanakan hajatnya.

Permaisuri raja Dewi Banowati tak ketinggalan diberitahu juga oleh raja, demikian pula putri raja yang bernama Dewi Lesmanawati. Seluruh istana Astina berharap semoga puter puja yang dilaksanakan oleh raja akan lulus selesai tak ada aral yang merintanginya. Setelah segala sesuatu persiapan selesai, berangkatlah raja diiringi Pandita Praja Dhahyang Drona menuju hutan Krendawahana, suatu tempat terkenal keganasannya dikarenakankahyangannya Batari Dirga.

Di kerajaan Nungsakambang, Prabu Jayabirawa dihadap oleh Patih Siwanda dan beberapa wadyabala yaksa. Raja Nungsakambang berkenan mengutarakan isi hatinya, bahwasanya tersiar berita pada waktu ini ratu-ratu di tanah Jawa sedang tekun mengadakan puter puja bertempat di hutan Krendayana, Kepada Patih Siwanda dijelaskan pula, usaha raja-raja tanah Jawa mengadakan puter puja itu harus dihalangi jangan sampai terlaksana, sebab akan berbahaya bagi raja Nungsakambang. Wadyabala raja yang berujud siluman si Jaramaya, Sadumiya, dan Doramiya diperintahkan oleh raja untuk segera berangkat ke hutan Krendayana mencari raja yang sedang puter puja, tugas utamanya mengoda dan menghalangi terlaksananya usaha tersebut. Lengkaplah sudah wadyabala Nungsakambang yang akan melaksanakan tugas, dalam perjalanannya menuju ke hutan Krendayana bertemu dengan prajurit-prajurit dari Astina. Ternyata kedua-duanya tak dapat menghindarkan diri dari peperangan, namun tak sampailah peperangan itu meluas. Sehingga kedua pasukan merasa perlu untuk melanjutkan tugasnya masing-masing.

Di pertapaan Retawu Resi Abyasa dihadap oleh cantrik, tan jauh dari sang Resi kelihatan pula cucu sang Begawan ialah Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca, yang selalu diikuti oleh Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Masalah pokok yang dibicarakan mengenai permohonan mengenai permohonan doa restu kepada para pepunden Pandawa yang sedang mengadakan puter puja. Resi Abyasa setelah memberikan restunya, Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca segera diseyogyakan untuk kembali. Lajulah kedua satriya tadi dalam perjalanannya diikuti oleh ketiga panakawan, Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Sekembalinya para satriya sanga Bagawan segera masuk ke dalam sanggar pamujan, memohon kepada dewata semoga cucundanya Pandawa yang sedang mengadakan puter puja dalam keadaan selamat.

Tersebutlah dtya seluman utusan dari Prabu Jayabirawa Nungsakambang dalam tugasnya menuju ke hutan Krendayana, dipertengahan perjalanannya bertemu dengan Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca. Kedua ksatriya setelah mengetahui bahwasanya mereka itu tak lain pra-aditya yang akan mengganggu lulusnya para Pandawa mengadakan puter puja, terlihat dalam percecokan akhirnya memuncak menjadi peperangan. Kadua-duanya bertempur dengan segala akal dan kekuatan, namun kedua ksatriya tersebut tak kuasa menandinginya. Meski para dtya tadi tidak dapat mati, namun dirasakan juga berlaga menghadapi kedua kesatriya ini pun tak semudah apa yang diduga. Sehingga ajhirnya kemarahan mereka timbul, segeralah mereka mempergunakan aji panglimunannya, serta melepaskan aji kemayan dan lisah(minyak) Muksala. Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca setelah kedua-duanya terkena aji kemayan, barulah mereka menjadi arca. Kyai Semar, Nalagareng dan Petruk yang mengetahui kedua Gusti mereka berubah wujudnya menjadi arca segera meninggalkan medan laga untuk segera melapor ke praja Madukara.

Konon Parabu Suyudana yang menjalankan hajat mengadakan puter puja telah sampai di hutan Krendayana, dengan ditemani oleh Pendita Astina Dhahyang Drona. Para Korawa yang mengantarkan telah diperintahkan untuk segera kembali ke Astina. Prabu Suyudana dan Dhahyang Drona di dalam hutan Krendayana bertemu dengan seorang pertapa yang menjalankan tapanya dengan cara membisu. Sang Raja bertanya kepada Begawan Lanowa, " Hai sang Begawan, apakah kiranya tapa anda itu mempunyai maksud-maksud tertentu. Jika anda tidak berkeberatan, sudilah kiranya kepada kami diberitakannya ", namun sang Begawan Lanowa tetap membisu, tak sepatah kata pun terucap. Pandita Drona yang telah mengetahui keadaan sang Begawan Lanowa, segera menghimbaunya dan menerangkannya panjang-lebar kepada Begawan Lanowa. Bahwasanya kedatangannya di hutan Krendayana, tak lain mengantarkan Raja Suyudana melaksanakan pesan jawata mengadakan puter puja. Kepada Begawan yang membisu, pertanyaan terucap dari Dhahyang Drona, " Sang Begawan, apakah gerangan yang menjadi tujuan anda bertapa di dalam hutan Krendayana yang sangat berbahaya dan gawat ini ?" Begawan Lanowatertegun sejenak, dan sudi menjawabnya," Wahai para pendatang, ketahuilah bahwasanya yang menjadi tujuan bertapa di dalam hutan Krendayana ini, bukanlah semata-mata bertapa untuk keperluanku pribadi. Melainkan aku menggentur tapa ini, untuk anak menantu saya yang bernama Raden Arjuna." Prabu Suyudana yang mendengarkan jawaban dan keterangan Begawan Lanowa teramat marahnya, akhirnya Begawan Lanowa dibunuh. Namun Prabu Suyudana, " Hai Prabu Suyudana, apalah salahnya orang tua yang sangat mengasihi anak menantunya, menapakannya. Kathuilah, kematianku ini akan kutuntut balas kepadamu, besuk kelak jika sekiranya waktu telah datang mengskala Baratayuda terjadi." Setelah bersuara muksalah badan sang Begawan Lanowa, Raja Suyudana dan Pandita Durna tertegun sejenak mendengarkan ancaman Begawan Lanowa, namun tiada berapa lama segeralah Raja Suyudana melanjutkan hajatnya menunaikan puter-puja dengan didampingi oleh Pandita Durna.

Dipraja Madukara Raden Arjuna dihadap oleh para istrinya, Dewi Subadra dan Dewi Srikandi. Selagi mereka berbincang-bincang masuklah Kyai Semar sambil menangis, tersendat-sendat ucapnya melapor kepada Raden Arjuna, " Raden, ketahuilah putramu Raden Angkawijaya sekembalinya dalam perjalanannya pulang, dengan putramu Raden Arya Gatutkaca telah disergap oleh raksasa-raksasa yang sangat tangguh dan ampuh. Terbukti dalam peperangan itu, putra-putramu telah dikalahkan dan kesemuanya telah berubah ujud menadi arca. Raden akan hal ini terserah Raden saja bagaimana jalan sebaiknya untuk mengatasi keadaan yang gawat ini." Raden Arjuna yang dengan tekun mendengarkan laporan panakawannya Kyai Semar, tak terkendalikan lagi amarahnya.Kepada kedua istrinya berpamit akan menyelesaikan masalah Raden Angkawijaya dan Raden Arya Gatutkaca. Kadua istrinya sangat bersyukur, dan memanjatkan doa semoga apa yang dilakukan suaminya dapat berhasil, dijauhkan dari aral yang melintang. Raden Arjuna segera laju mencari putra-putranya diiringkan oleh Semar,Nalagareng, dan Petruk.

Namun dalam perjalanannya menuju ke hutan Krendayana, belum lagi sampai baru menginjak di hutan tarataban, bertemulah sang Arjuna dengan Hyang Batari Durga yang telah merubah wajahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik wajahnya, bernama Dewi Talimendang. Pada pandangannya yang pertama Raden Arjuna sudah sangat tertarik dengan Dewi Talimendang, tidaklah mengherankan cita-citanya harus tercapai. Namun ketika Dewi Talimendang dikejar-kejar oleh Raden Arjuna, berubahlah Dewi Talimendang menjadi ujud semula ialah Hyang Batari Durga. Raden Arjuna diumpatinya disumpah-sumpah, " Hai anaku Arjuna, tingkah-lakumu tidak senonoh, ksatriya bagaikan seekor banteng." Abda Hyang Batari kepada Raden Arjuna merubah keadaan Raden Arjuna dari seorang satriya menjadi wujud binatang banteng. Manakala berubah wujudnya menjadi seekor banteng Hyang Batari Durga masih diburunya, namun manakala pula tampak olehnya wajahnya berubah wujudnya menjadi wujud binatang banteng, Raden Arjuna sangat sedih hati dan menghentikan pemburuannya terhadap Hyang Batari Durga. Kyai Semar Nalagareng, dan Petruk yang merasa ketinggalan oleh kepergiaannya Raden Arjuna segera kembali, adapun si banteng sendiri laju menuju ke kerajaan Dwarawati.

Di Kerajaan Dwarawati Prabu Kresna menerima laporan dari Patih Udawa, bahwasanya di luar kraton tampak olehnya seekor banteng mengamuk. Sri Kresna segera tanggap sasmita dan meninggalkan pendapa kraton. Segera menuju ke luar untuk menyongsong banteng yang sedang mengamuk. Setelah tampak olehnya, agaknya banteng pun merasa dirinya tidak asing lagi dengan Sri Kresna. Di dekatinya Sri Kresna, tingkah-lakunya si Banteng menunjukkan iba hatinya Sri Kresna. Segeralah Sri Kresna merubah dirinya menjadi seprang anak bajang (pendek dan kecil keadaan tubuhnya) dengan nama Jaka Sungkana. Kepada banteng yang sedang mencium-cium kaki Sri Kresna seakan-akan banteng menghaturkan sembahnya, Sri Kresna yang telah merubah dirinya menjadi anak bajang bernama Jaka Sungkana mengajaknya untuk pergi. Banteng sekarang bernama Andini, dengan gembalanya anak bajang bernama Jaka Sungkana laju melesat menuju ke Kerajaan Nungsakambang.

Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa berkata kepada adiknya Raden Arya Wrekodara, " Duhai adik-adikku kesemuanya, Arya Wrekodara, Nakula, dan Sadewa. Kiranya hari ini waktu yang baik sekali bagi kita semua untuk melakukan hajat semadi, melaksanakan puter puja. Kalian kesemuanya menyertaiku ", segeralah Prabu Puntadewa diiringi oelh adik-adiknya pergi menuju ke hutan Krendayana untuk melaksanakan puter puja.

Di tengah hutan Krendayana Prabu Puntadewa bersama-sama adiknya dalam perjalanannya menemukan arca, berbentuk seekor gajah. Konon arca yang berbentuk gajah putih tersebut, menunjukkan tempat bekas Raden Gajahhoya. Di tempat itulah Sri Puntadewa dan adik-adiknya memulai samadi, tak lama turunlah Hyang Narada dan Hyang Endra dari Suralaya mendekati Sri Puntadewa dan adik-adiknya. Berkatalah Hyang Narada, " Wahai Kaki Puntadewa, kedatanganku adalah diutus oleh Hyang Girinata untuk menjelaskan membaritahukan kepada hal-hal sebagai berikut. Bahwasanya kaki Puntadewa dikehendaki oleh dewa untuk menjadi raja di Pulau Jawa, selanjutnya para Pandawa besuk akan keluar sebagai pemenang dalam perang Bratayuda, lagi pula segala peraturan-peraturan undang-undang yang telah aku jelaskan kepadamu sebagai penetap agama hendaknya ditaati," Sri Yudhistira dan adik-adiknya sangat bersyukur kepada dewa atas karuniah yang telah dilimpahkan kepadanya dan saudara-saudaranya. Setelah bertemu agak lama, kembalilah Hyang Narada dan Hyang Endra ke Suralaya. Sri Puntadewa dan adik-adiknya kembali manuju ke pura Amarta.

Prabu Birawa raja Nusakambang sedang menerima kedatangan Hyang Batari Durga, di samping Patih Siwanda. Diberitakan oleh Batari Durga bahwasanya Raden Arjuna sekarang telah mati, suka-citalah Prabu Birawa mendengarkannya. Setelah menjelaskan hal tersebut, kembalilah Batari Durga ke kahyangannya. Di alun-alun Nungsakambang terlihat banteng mengamuk dengan penggembalanya seorang anak kecil, yang tiada lain Jaka Sungkana dengan banteng Andini. Keadaan menjadi kacau oleh amukan banteng, raja Birawa menerima laporan perihal tersebut. Keluarlah sang Raja dari istana, menuju ke alun-alun dengan maksud akan menghalau banteng tadi. Oleh kesaktiannya Patih Siwanda merubah dirinya menjadi seekor harimau dan bertanding dengan banteng Andini, terjadilah pertarungan seru dan sengit.

Demikian pula Raden Jaka Sungkana bertanding melawan Prabu Birawa,lama-kelamaan banteng Andini kembali berujud Raden Arjuna, Raden Jaka Sungkana kembali ujudnya menjadi Sri Kresna. Sadarlah Sri Kresna lawan apa yang dihadapinya, segera senjata sakti berujud cakra dilepaskan, Prabu Birawa terkena babar kembali menjadi Hyang Kala. Adapun Patih Siwanda kembali ujud mulanya menjadi Hyang Kalayuwana. Kedua-duanya setelah babar kembali ujud semulanya, laju ke kahyangannya amsing-masing.Sri Kresna dan Raden Arjuna segera melanjutkan usahanya untuk menemukan saudara-saudara Pandawa lainnya. Sampailah mereka di hutan tarataban, dilihatnya ada sepasang arca bagus-bagus rupanya. Menyadari ada hal-hal yang janggal, Sri Kresna segera mendekati kedua arca tersebut dan bersemadi untuk memohon ruwatnya (hilangnya gangguan) kedua arca tersebut. Dewata mengabulkan, kedua arca teruwat kembali asalnya. Berujud Raden Angkawijaya dan Raden Gatutkaca. Setelah mereka melapor dari awal sampai akhir kepada Sri Kresna dan Raden Arjuna, kembalilah mereka bersama-sama menuju ke praja Amarta. Selagi mereka dalam perjalanannya menuju ke praja Amarta, bertemulah dengan Sri Puntadewa, Raden Arya Wrekodara, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Agak lama pertemuan itu terjadi, saling melepaskan kerinduannya masing-masing. Akhirnya bersepakat kesemuanya kembali ke praja Amarta.

Prabu Suyudana dan Dhahyang Drona berembug dengan Patih Sakuni dan para Korawa perihal gagalnya raja mengadakan puter puja, dan hal-hal yang mengkhawatirkan raja dikarenakan telah dibunuhnya seorang pendeta yang tidak berdosa bernama Begawan Lanowa. Apa lagi raja sangat menyesalinya mengingat akan kutukan-kutukan sang Begawan keoada raja, bahwasanya besok akan kalah perangnya dalam Bratayuda. Tresiarnya berita bahwasanya para Pandawa telah berhasil mendapatkan perlindungan-perlindungan dari para dewa, terbukti para Pandawa kelihatan berhasil pula dalam menjalankan puter pujanya di hutan Krendayana. Raja sangat mengiri kepada para Pandawa, diperintahkanya para Korawa untuk segera menyerang dan menghancurkan para Padawa. Wadyabala Astina laju menuju ke pura Amarta, dengan segala kekuatanya.

Sekembalinya Sri Yudhistira dan adik-adiknya, beserta Sri Kresna di Amarta tiada lain yang dibicarakan perihal berhasilnya para Pandawa melaksanakan puter puja, di hutan Krendayana. Sebaliknya Sri Kresna pun menguraikan dari awal sampai akhir segala kejadian yang dialaminya menghadapi Kerajaan Nungsakambang. Selagi mereka berbincang-bincang mengenang pengalaman masing-masing, tersiarlah berita bahwasanya di lur ramai dibicarakan para wadyabala datangnya para Korawa yang mengamuk. Sri Puntadewa memerintahkan kepada adiknya Raden Arya Wrekodara untuk menanggulangi para Korawa yang akan merusak menyerang praja Amarta, dikarenakan tidak senang melihat para Pandawa berhasil dalam melakukan puter pujanya di hutan Kredayana. Arya Wrekodara tampil ke depan berhadapan dengan para Korawa, perang seru dan ramai terjadi. Namun para Korawa yang terdiri dari pemuka-pemukanya, tampak antaranya Raden Arya Dursasana, Raden Arya Jayadrata, Raden Kartamarma, Raden Durmagati, Raden Citraksa, Raden Citraksi dengan segenap prajuritnya dapat dipukul mundur oleh Raden Arya Wrekodara. Kembalilahpara Pandawa berkumpul, utnuk berucap syukur kepada dewa dikarenakan telah terhindar dari aral yang melintang ,berhasil dalam melakukan hajat puja. Amanlah sudah Kerajaan Amarta, para kawula praja turut bersuka-cita.


Previous
Next Post »